On this month : Chapter : 1 serangan Umum 1 Maret 1949
Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah
serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta
secara besar-besaran yg direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi
militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk
pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar
Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada
& cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia
dlm perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama
untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia [TNI] masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade
X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yg dilancarkan pada
bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik
terhadap tentara Belanda yg dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan
kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak
pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yg menghubungkan kota-kota yg telah
diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh
daerah republik yg kini merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda
yg sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater
Hutagalung-yg sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial &
ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II &
III-bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi
Dewan Keamanan PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut &
melancarkan propaganda yg menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tak ada
lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar
berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan
langkah-langkah yg harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
Hutagalung yg membentuk jaringan
di wilayah Divisi II & III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar
Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan
Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi III, Kol.
Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada
kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yg saat itu menderita
penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September & Oktober
1949, Hutagalung & keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar
Sudirman di [dahulu] Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran yg dikembangkan oleh
Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika
Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada
pemerintahan [Pemerintah Darurat Republik Indonesia -PDRI], ada organisasi TNI &
ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus
diadakan serangan spektakuler, yg tak bisa disembunyikan oleh Belanda, &
harus diketahui oleh UNCI [United Nations Commission for Indonesia] &
wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk
menyampaikan kepada UNCI & para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional
Indonesia, yg bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman
menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan Hutagalung agar
mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II &
III.
Letkol. dr. Hutagalung masih
tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum
kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yg diberikan oleh Panglima
Besar Sudirman, dlm rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah
Gubernur Militer III, yg dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas
yg terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi
III Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan
Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan
sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R.
Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking
& Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yg pada waktu itu juga sebagai
penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yg telah disetujui oleh Panglima
Besar Sudirman, & kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
Serangan dilakukan secara
serentak di seluruh wilayah Divisi III, yg melibatkan Wehrkreise I, II &
III,
Mengerahkan seluruh potensi
militer & sipil di bawah Gubernur Militer III,
Mengadakan serangan spektakuler
terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
Harus berkoordinasi dengan Divisi
II agar memperoleh efek lebih besar,
Serangan tersebut harus diketahui
dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari: Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yg dimiliki oleh AURI
& Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT [Pendidikan Politik Tentara]
Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama dari ini rencana
ialah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI & dengan demikian juga
menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk
menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta
para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yg berseragam TNI. Setelah
dilakukan pembahasan yg mendalam, grand design yg diajukan oleh Hutagalung
disetujui, & khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota
besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yg
harus diserang secara spektakuler ialah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yg
dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama
adalah:
Yogyakarta ialah Ibukota RI,
sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh
besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
Keberadaan banyak wartawan asing
di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI [KTN]
serta pengamat militer dari PBB.
Langsung di bawah wilayah Divisi
III/GM III sehingga tak perlu persetujuan Panglima/GM lain & semua pasukan
memahami & menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan
Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah
dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi
III dapat dikatakan telah terlatih dlm menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari
mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen & Bupati, selalu
diikutsertakan dlm rapat & pengambilan keputusan yg penting & kerjasama
selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama
untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak
mana serta siapa saja yg perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di
atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yg lancar
berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis & akan dilengkapi dengan seragam
perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dlm kota,
& pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka
guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing
yg berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT
Kementerian Pertahanan yg juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari
pemuda-pemuda yg sesuai dengan kriteria yg telah ditentukan, terutama yg fasih
berbahasa Belanda & Inggris.
Hal penting yg kedua adalah,
dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia
terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam
menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T. B.
Simatupang yg bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk
menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI [AURI] di Playen, dekat Wonosari,
agar sesudah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran
oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini
kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda
melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan
mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat
pasukan Belanda yg kuat seperti Magelang, Semarang & Solo. Jarak tempuh
[waktu itu] Magelang-Yogya hanya sekitar 3-4 jam saja; Solo-Yogya, sekitar 4-5
jam, & Semarang-Yogya, sekitar 6-7 jam. Magelang & Semarang [bagian
Barat] berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah
wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu,
serangan di wilayah Divisi II & III harus dikoordinasikan dengan baik
sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dlm kurun waktu yg ditentukan,
sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tak dapat
diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil,
Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi &
Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan &
pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para
pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari
bantuan rakyat dlm penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat,
Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dlm menyiapkan & memasok perbekalan
[makanan & minuman] bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur &
ditetapkan oleh pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan & perawatan
medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak
menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat
Total-sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1-yg dikeluarkan oleh Staf Operatif
[Stop] tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung
kepada Kesehatan Rakyat & P. M. I. karena itu evakuasi para dokter &
rumah obat mesti menjadi perhatian.
Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua
DPA yg juga ialah Ketua PMI [Palang Merah Indonesia], mengatur pengiriman obat-obatan
bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter & staf PMI kemudian banyak yg
ditangkap oleh Belanda & ada juga yg mati tertembak sewaktu bertugas.
Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II & para pejabat sipil pulang
ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas
masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di
Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman &
Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dlm
pedoman pengiriman berita & pemberian perintah, perintah yg sangat penting
& rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan
yg bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yg ada di wilayah
Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh
Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada
Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu
kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk
segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada
pihak-pihak yg terkait. Ikut dlm rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr.
Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen [dokter pribadi Bambang Sugeng], Bambang
Surono [adik Bambang Sugeng], seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr.
Kusen, Letnan Amron Tanjung [ajudan Letkol Hutagalung] & beberapa anggota
staf Gubernur Militer [GM] serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di
tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yg bermarkas tak jauh dari markas Panglima
Divisi, & memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi & tegap
serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yg akan diberi pakaian
perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di
Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol.
Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dlm pertemuan tersebut
hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yg kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu
dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar
radio AURI di Playen & di Wiladek, yg ditangani oleh Koordinator Pemerintah
Pusat. Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi
segera mengeluarkan instruksi rahasia yg ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I
Kolonel Bachrun, yg akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando
Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan
Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi
& rombongan meneruskan perjalanan, yg selalu dilakukan pada malam hari
& beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk
jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju
wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah
kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan
mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng & masih sempat
berenang di telaga yg ada di dekat Pengasih [Keterangan dari Bambang Purnomo,
adik kandung alm. Bambang Sugeng, yg kini tinggal di Temanggung]. Pertemuan
dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan
akan dilakukan di dlm satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah
dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dlm sebuah gubug di tengah sawah. Hadir
dlm pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer
III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung
beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol.
Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan
penyerangan antara tanggal 25 Februari & 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru
dapat ditentukan kemudian, sesudah koordinasi serta kesiapan semua pihak
terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang,
baru kemudian diputuskan [keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari], bahwa
serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06. 00 pagi.
Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yg terkait.
Puncak serangan dilakukan dengan
serangan umum terhadap kota Yogyakarta [ibu kota negara] pada tanggal 1 Maret 1949,
dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise
III, sesudah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
[sunting] Jalannya serangan Umum
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari,
serangan secara besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi
III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta,
serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon
dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang
& penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama
Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM
III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun &
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga
dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo,
guna mengikat tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat mengirimkan
bantuan ke Yogyakarta.
Pos komando ditempatkan di desa
Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap
mendekati kota & dlm jumlah kecil mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari
sekitar pukul 06. 00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke
segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin
pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin
Ventje Sumual, sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara
oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir
Murtono & Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota
Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah
ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur
Serangan terhadap kota Solo yg
juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tak
dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang secara
besar-besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat
memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, &
sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari,
serangan secara besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi
III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta,
serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon
dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang
& penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama
Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM
III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun & Komandan
Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga dilakukan di
wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo, guna
mengikat tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat mengirimkan bantuan ke
Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang
serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota & dlm jumlah kecil
mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari sekitar pukul 06. 00, sewaktu sirene
dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam
penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat
sampai ke batas Malioboro.
Sektor Timur dipimpin Ventje
Sumual, sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh
Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono
& Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta
selama 6 jam. Tepat pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan
semula,seluruh pasukkan TNI mundur
Serangan terhadap kota Solo yg
juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tak
dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang secara
besar-besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat
memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, &
sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.
Serangan Besar-Besaran Tentara
Nasional Republik Indonesia Terhadap Belanda
Mr. Alexander Andries Maramis, yg
berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar
siaran radio yg ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara
Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines
di berbagai media cetak yg terbit di India.
Hal ini diungkapkan oleh Mr.
Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas,
Jakarta. Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik
Indonesia, mempermalukan Belanda yg telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak
lama sesudah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yg menjadi
salah satu keberhasilan pejuang RI yg paling gemilang karena membuktikan kepada
Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase,
tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yg
dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat-artileri, pasukan
infantri & komando yg tangguh. Serangan umum Solo inilah yg menyegel nasib
Hindia Belanda untuk selamanya.
300 Prajurit Tewas Dan 53 Anggota
Polisi Tewas
Dari pihak Belanda, tercatat 6
orang tewas, & diantaranya ialah 3 orang anggota polisi; selain itu 14
orang mendapat luka-luka. Segera sesudah pasukan Belanda melumpuhkan serangan
terebut, keadaan di dlm kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas
& pasar kembali seperti biasa, malam harinya & hari-hari berikutnya
keadaan tetap tenteram. Pada hari Selasa siang pukul 12. 00 Jenderal Meier
[Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah], Dr. Angent [Teritoriaal
Bestuurs-Adviseur], Kolonel van Langen [komandan pasukan di Yogya] &
Residen Stock [Bestuurs-Adviseur untuk Yogya] telah mengunjungi kraton guna
membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya,
pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota
polisi tewas, rakyat yg tewas tak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah
Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama
bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas & luka-luka.
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
sumber :
17 komentar:
Wah, keren!
Sangat bersejarahh
gak bisa comment panjang-panjang, kanggoin ya soalnya baru bangun
next artikel request bahas jaman purba dong, soalnya saya kangen throwback pada masa-masa itu dimana saya bisa berburu bareng dinosaurus, ok deh salam kenal
Berat bung pembahasan artikelnya
Artikel yg bagus kak,
Artikel ini bikin kita ingat kembali sama sejarah yg kadang terlupakan,
Kak bisa mnta artikel tentang Little Netherland ada di yg Semarang di Jawa Tengah?
sankyuu
Ngeri ya ternyataaa
tobangado, squok, pata (?)
terimakasih requestnya
wah wah
Kan jadi inget masalalu lagi
Artikelnya menambah wawasan 😊
Artikelnya menambah wawasan 😊
makasih buat artikelnya yg bermanfaat
Fajrin Emg beda ..
fajrin sejarawan ternyata
Posting Komentar